Rabu, 11 Januari 2012


(HARIAN JOGJA/SUNARTONO)
Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Puluhan warga Temuireng II, Girisuko, Panggang sudah berkumpul di Telaga Motoendro yang ada di dusunnya.
Mereka berkumpul untuk menggelat kenduri atau selamatan di tempat itu. Para warga sengaja menggelar kenduri agar air telaga yang tiba-tiba hilang akibat ambles ke dalam tanah bisa berakhir.
Warga juga melakukan kerja bhakti dengan memasang beberapa tiang kayu di dalam telaga untuk mengurangi amblesan telaga yang terus melebar. Cara itu dilakukan warga Temuireng karena bagi mereka telaga Motoendro merupakan sumber utama keseharian mereka.
Telaga Motoendro menurut sebagian besar warga tak pernah kering. Ribuan warga dusun tersebut menggantungkan hidupnya dari air telaga itu terutama untuk mandi serta memandikan dan memberi minum ternak sapi.
Tetapi telaga yang sudah ada sejak puluhan tahun silam itu kini tampaknya akan tinggal kenangan pasca terjadi fenomena amblesan pada pekan lalu yang membuat air telaga habis dalam waktu beberapa jam.
Bagi Wakijan, 45, warga dusun setempat, Telaga Motoendro sangat memberi manfaat selama bertahun-tahun dalam mencukupi kebutuhan air bagi keluarganya.
“Kalau seperti sekarang saya hanya mengandalkan air hujan dengan jumlah terbatas, jadinya musim hujan tetapi seperti kemarau,” ujar Wakijan, 45 saat menunggu dua ekor sapi miliknya yang digembalakan di pinggir Motoendro, Selasa (10/1).
Sejak Motoendro tiba-tiba mengering, ia mulai kesulitan dalam mencukupi kebutuhan air untuk minum dan memandikan dua ekor sapinya. Bahkan sudah sepekan dua ekor sapinya tak pernah dimandikan sehingga kondisinya sangat kumal, ia pun membatasi untuk memberi minum. Pasalnya jika harus menggunakan air tadah hujan yang ditampung dalam PAH di rumahnya, dikhawatirkannya tidak bisa mencukupi kebutuhan air untuk sekeluarganya terutama masak dan minum sehari-hari.
Jika harus mencari telaga lagi dengan membawa sapinya, Wakijan harus menempuh perjalanan sepanjang tiga kilometer yang berada di desa tetangga. Saat ini ia hanya berharap kepada pemerintah untuk memberikan bantuan guna mengatasi persoalan tersebut.
“Saya harap ada solusi, intinya mengembalikan telaga seperti semula,” imbuh pria tiga anak ini.
Warga Temuireng II lainnya, Maryanto, 50, mengaku tak pernah mengira jika telaga yang banyak memberikan kenangan baginya saat masih kecil itu bakal ‘berlaku’ aneh dengan air lenyap secara tiba-tiba. Keringnya telaga, kata Maryanto, benar-benar diibaratkan seperti kemarau yang menimpa dusunnya saat musim hujan. Karena Motoendro selalu berisi air hingga penuh saat musim penghujan, bahkan di tahun 1990-an ketinggian air hampir mencapai kawasan teratas telaga yang terbangun secara alami tersebut.
“Yang pasti sejak saya kecil selalu ada airnya, mungkin pernah kering tetapi masih terisi air meskipun sedikit terutama di pojok yang saat ini ambles itu,” ujarnya.
Jika pemerintah tidak segera mencari solusi, pria dua anak ini memprediksi sembilan bulan atau saat musim kemarau ke depan warga akan terbebani dengan membeli air bersih dengan kuantitas yang besar. “Kalau mau kemarau telaga ini yang biasanya untuk mandi, kalau seperti ini terus mungkin kami harus membeli air dalam jumlah banyak, misal kemarin lima tangki besok jadi sepuluh tanki,” pungkasnya.
Menurut Wakijan, dalam kerja bhakti tersebut ditemukan titik terang hilangnya air telaga yang menuju ke arah timur atau menuju luweng yang berjarak sekitar 100 meter dari telaga Motoendro. Sejumlah warga berusaha untuk membendungnya tetapi amblesan terus melebar ke arah timur.
Sedang saat siang hari Motoendro selalu didatangi sejumlah warga yang ingin menyaksikan. Sejumlah anak-anak nekat mendekat mulut amblesan meski sudah terpasang tulisan agar jangan mendekat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar